Mengenai Saya

Foto saya
keturunan jawa asli yg numpang lahir dan numpang gede di MANADO, seorang anak gadis, seorang kakak, seorang cumlauder, seorang sarjana pertanian, seorang magister sains, seorang calon istri

Sabtu, 03 Desember 2011

PEREMPUAN DALAM HIDUP BUNG KARNO: INGGIT GARNASIH

Ir. Soekarno adalah sang proklamator kemerdekaan Indonesia yang begitu kharismatik dan disegani banyak orang. Tinta emas sejarah Indonesia telah mencatat segala perjuangan beliau dalam membangun kemerdekaan Indonesia. Tetapi sayang, banyak tinta merah tertuang dalam perjuangannya setelah ia menjabat sebagai Presiden Republik Indonesia. Dari persoalan pribadi hingga ke persoalan eksternal entah itu menyangkut kebijakan dalam negeri atau ketidak-tegasan dalam menentukan sikap politik luar negeri yang akhirnya berdampak tidak jelasnya situasi politik dalam negeri.

Salah satu kenangan negatif tentang Soekarno adalah banyaknya istri-istri yang pernah beliau miliki. Hal ini berasal dari diri Soekarno sendiri yang menyukai perempuan cantik. Memang ini adalah persoalan pribadi beliau, tetapi bagaimanapun juga kehidupan pribadi seorang pemimpin pasti juga menjadi salah satu faktor dalam setiap keputusan politis yang pernah diambil. Manusia itu lebih banyak bersikap dan berfikir subjektif daripada objektif, karena ketika seseorang itu bersikap maka yang diperjuangkan adalah kepentingan dirinya. Begitu juga dengan Soekarno, segala keputusan dan kebijakan yang pernah beliau ambil pasti tidak bisa lepas dari faktor kehidupan pribadi beliau. Dan kehidupan pribadi seorang pemimpin pasti akan banyak disorot oleh orang-orang dibawahnya, ini karena seorang pemimpin adalah orang yang paling layak untuk ditiru serta mampu menjadi inspirator seseorang dalam perjuangan hidupnya. Lepas dari titik lemahnya seorang pria yaitu HARTA, TAHTA dan WANITA.

Mulutmu, harimaumu. Mungkin pepatah ini yang tepat menggambarkan hal yang menimpa sang proklamator kala itu. Bung Karno dan H. Agus Salim, mereka berpolemik panjang lebar soal poligami. Bung Karno tidak setuju karena dianggapnya poligami adalah perendahan harkat dan martabat kaum perempuan sebaliknya Agus Salim setuju karena pengertian beliau yang mendalam. Beberapa tahun kemudian mereka bertemu, Bung Karno istrinya banyak sementara Agus Salim tetap beristri satu. Akhirnya segala sesuatu dikembalikan pada niatnya.

Siapakah sosok yang paling memberi kontribusi dalam perjalanan hidup Sukarno? Sosok itu berjenis kelamin perempuan. Tanpa mengurangi peran perempuan (lain) dalam hidup Sukarno, nampaknya, diantara sekian banyak istrinya itu, ada nama yang patut diberi apresiasi dalam sejarah Indonesia. Inggit Garnasihlah yang berada dalam posisi penting tersebut. Beliau adalah seorang ibu kos kala Soekarno kuliah di Holland Indlandsche School (sekarang ITB). Saat itu Soekarno memiliki seorang istri bernama Utari, putri dari HOS Tjokoaminoto. Sementara Inggit Garnasih adalah istri dari Sanusi, seorang pengusaha kaya yang juga pengurus Sarekat Islam afdeling Bandung yang mendapat rekomendasi dari HOS Tjokroaminoto agar merawat Soekarno di rumahnya.

Hubungan suami-istri antar Soekarno dan Utari tidak berjalan mulus. Soekarno lebih merasa menjadi kakak bagi Utari daripada menjadi suami. Bahkan, konon mereka belum sekalipun berhubungan suami-istri sejak menikah hingga bercerai. Soekarno sering menceritakan persoalan pribadinya itu pada ibu kosnya, Inggit Garnasih. Dan selayaknya ibu kos yang baik, Inggit pun sering mendengarkan keluh kesah Soekarno dan memberinya saran. Bahkan Inggit saat itu menyuruh Soekarno agar memperbaiki hubungannya dengan Utari. Tetapi saran dari Inggit itu tak pernah dilaksanakan oleh Soekarno. Utari pun diceraikan dan dikembalikan ke ayahnya, HOS Tjokroaminoto.

Soekarno pun semakin dekat dengan Inggit Garnasih. Mereka terlihat akrab dan dekat hingga akhirnya timbul gunjingan-gunjingan dari orang-orang disekitar mereka. Sadar akan situasi tersebut, Sanusi pun rela melepas Inggit Garnasih. Bahkan dengan segala keikhlasannya, Sanusi berpesan kepada Inggit agar menjadi sandaran bagi Soekarno dan membantu perjuangan Soekarno dalam mewujudkan impiannya.

Dan mereka pun menikah. Inggit Garnasih benar-benar menjadi orang yang setia disamping Soekarno dalam perjuangan beliau untuk mewujudkan impiannya. Dia rela menemani Soekarno dalam masa-masa tersulit perjuangan beliau. Bahkan ketika Soekarno telah putus asa dan kehilangan jalur dalam perjuangannya, Inggit lah yang selalu berusaha mengingatkan dan menyemangati beliau. Ketika Soekarno ditahan di Penjara Sukamiskin dan dibuang ke Ende (Flores) serta ke Bengkulu, Inggit Garnasih setia tetap disampingnya. Bahkan ia menguras tabungannya, menjual perhiasan, dan menjual segala harta benda untuk membiayai segala aktivitas Soekarno dalam dunia pergerakan.

Apabila Bung Karno api maka Inggit kayu bakarnya. Inggit menghapus keringat ketika Soekarno kelelahan, Inggit menghibur ketika Soekarno kesepian. Inggit menjahitkan ketika kancing baju Soekarno lepas, Inggit hadir ketika Soekarno muda membutuhkan kehangatan perempuan baik sebagai Ibu maupun teman. Inggit bagi Soekarno laksana Khadijah bagi Muhammad. Bedanya Muhammad setia hingga Khadijah meninggal sedangkan Soekarno kawin lagi, melangkah ke gerbang istana dan Inggit pulang ke Bandung, menenun sepi.

Dalam kamus hidupnya hanya ada kata memberi tak ada kata meminta. Inggit menjual bedak, meramu jamu dan menjahit kutang untuk nafkah keluarga, sementara Soekarno seperti singa yang mengaum dari satu podium ke podium berikutnya, pikirannya tercurah untuk pergerakan, Inggit yang setia mencari uang. Inggit mencinta karena cinta, tanpa pamrih tanpa motivasi. Suatu malam di jalan Jaksa, kedua pasang mata bertemu, Soekarno berkata “Aku cinta padamu”. Inggit tersipu menunduk dalam-dalam sambil mempermainkan ujung kebaya. Itulah cinta yang dibawakan Inggit dengan mesra, tanpa suara tanpa kata-kata, tanpa bahasa. Kejadian yang sangat lazim dan sederhana tetapi merupakan kejadian penting yang terlupakan oleh segenap bangsa.

Ketika Soekarno diasingkan di Bengkulu, hadirlah sosok Fatimah dalam kehidupan Soekarno dan Inggit Garnasih. Fatimah lahir pada 5 Februari 1923 dari pasangan Hassan Din dan Siti Khatidjah. Ketika Soekarno diasingkan di Bengkulu, Fatimah sering bermain ke rumah Soekarno karena ia adalah kawan sepermainan anak angkat Soekarno. Fatimah juga akrab dengan Inggit Garnasih, bahkan Inggit menganggap Fatimah seperti anaknya sendiri.

Sayangnya Inggit memiliki satu kekurangan yang menjadi sebuah pukulan telak baginya. Inggit tidak mampu menghadirkan keturunan bagi Soekarno. Inggit adalah seorang perempuan mandul. Walaupun saat itu Soekarno dan Inggit memiliki dua anak angkat, Soekarno tetap menginginkan keturunan langsung dari dirinya. Sayangnya hal itu tak mampu diberikan oleh seorang Inggit Garnasih.

Dan Fatimah pun menjadi solusi dalam pikiran Soekarno. Beliau lalu mengajak Fatimah untuk menikah, tetapi Fatimah memiliki prinsip bahwa dia tidak bersedia untuk dimadu. Begitu juga ketika Soekarno berkata ingin memadu Inggit, dengan tegas Inggit menolak keinginan tersebut. Ia mengijinkan Soekarno untuk menikah lagi dengan Fatimah, tetapi ia meminta untuk diceraikan terlebih dahulu. Inggit Garnasih lebih memilih merelakan diri untuk bercerai dengan Soekarno daripada harus dimadu oleh Soekarno. Dia merelakan segala kesempatan menjadi seorang first lady bagi bangsa Indonesia.

Dengan segala pertimbangan dan keputusan dari rapat antara Soekarno, Moh. Hatta, K.H. Mas Mansjur, dan Ki Hadjar Dewantara, maka diambil keputusan bahwa Soekarno hendak menceraikan Inggit dan menikahi Fatimah. Peristiwa itu terjadi pada tahun 1942. Dengan ditemani K.H. Mas Mansjur, Soekarno mengantarkan Inggit Garnasih kembali ke kediaman keluarganya. Dan melalui sebuah pertemuan yang dingin dan kaku dengan keluarga Inggit Garnasih, Soekarno pun menceraikan ia dan mengembalikan Inggit kepada orangtuanya. Sebuah doa dan harapan diberikan Inggit kepada Soekarno ketika proses perceraian itu telah usai, doa itu berbunyi : “Selamat jalan dan semoga selamat dalam perjalanan”.

Ketika saat Indonesia merdeka tiba dan Bung Karno menjadi presiden pertama, Ibu Inggit tidak lagi berada di samping orang yang dicintai dan dikaguminya. Perempuan perkasa itu memilih berpisah karena tidak bisa menerima kenyataan cintanya harus dibagi dengan Fatmawati, teman sekolah anak angkatnya. Indonesia harus memberikan penghargaan yang sepantasnya. Sebuah gelar bernama pahlawan nasional bahkan belum mampu membayar dedikasi dan pengorbanan yang diberikan Ibu Inggit bagi Bung Karno dan republik ini. Dedikasi dan pengorbanan Ibu Inggit merupakan nilai-nilai kepahlawanan yang semakin terasa bermakna di tengah kekacauan nilai hidup berbangsa dewasa ini di tengah pusaran arus globalisasi.

Masalah globalisasi bukan melulu eksploitasi atau pekerja dunia ketiga atau kerusakan lingkungan, tetapi juga proses dehumanisasi (pelenyapan harkat manusia). Globalisasi pada bidang ekonomi melahirkan negara-negara industri raksasa dan korporasi perdagangan raksasa, di sisi lain memarjinalkan negara-negara miskin. Globalisasi dalam bidang politik mengakibatkan semakin berkurangnnya kekuasaan negara karena perkembangan ekonomi dan budaya global. Globalisasi budaya menyebabkan dunia dewasa ini dalam keadaan kacau (chaos).

Globalisasi yang menimbulkan krisis multidimensional telah mampengaruhi perkembangan kepribadian manusia berupa krisis identitas dalam diri individu, kelompok dan masyarakat. Untuk mengatasi persoalan tersebut maka diperlukan upaya-upaya pembinaan kepribadian yang merupakan pemberdayaan diri dalam menghadapi persoalan-persoalan yang muncul akibat globalisasi. Bangsa Indonesia harus mempunyai identitas diri yang kuat dan memiliki antisipasi terhadap perubahan-perubahan yang akan terjadi.

Tokoh Ibu Inggit dengan nilai-nilai kepahlawanannya merupakan karakter yang kuat yang mampu memelihara dan berpegang pada nilai-nilai yang diyakininya benar sehingga pantas dijadikan rujukan nilai bagi bangsa Indonesia khususnya dalam kaitannya dengan nasionalisme.

Nasionalisme (faham kebangsaan) tidak dapat dilepaskan dari nation (bangsa), yaitu sejumlah orang yang memandang diri mereka sebagai komunitas atau kelompok dan memberikan kesetiaan kepada kelompok di atas kepentingan lainnya. Mereka biasanya memiliki bahasa, budaya, agama, politik dan lembaga-lembaga serta sejarah di mana mereka mengidentifikasikan diri, juga percaya bahwa mereka mengalami persamaan nasib. Mereka biasanya mendiami suatu wilayah tertentu. Adapun faktor-faktor yang mendukung terbentuknya suatu bangsa adalah bahasa, ras, geografi dan lembaga-lembaga politik. Orang-orang yang membentuk suatu bangsa biasanya mengembangkan nasionalisme. Jika bangsa tersebut mencapai status negara-bangsa (nation-state), mereka mengembangkan suatu kerangka politik yang melindungi penduduk dan membangun lembaga-lembaga negara. Dalam membangun nasionalisme, penduduk mengesampingkan kepentingan pribadinya untuk disumbangkan bagi kemerdekaan, harga diri, kemakmuran dan kekuatan negara.

Ibu Inggit adalah manusia yang mengesampingkan kepentingan pribadinya untuk kepentingan bersama yang lebih besar. Ia tidak ditakdirkan untuk memasuki Istana Merdeka bersama Bung Karno. Ia memaafkan Fatmawati yang dianggapnya sebagai anak. Ia setia menjalani hari tuanya dengan berjualan bedak buatan sendiri. Ia memaafkan Bung Karno yang ketika masih sebagai mahasiswa disapanya dengan panggilan Kusno. Inggit tidak mengeluh. tidak menangis. Demikianlah cinta Inggit pada Soekarno. Cinta semata-mata karena cinta. Tidak luka ketika dilukai dan tidak sakit ketika disakiti, tanpa pamrih tanpa motivasi.

Tidak ada komentar: