Mengenai Saya

Foto saya
keturunan jawa asli yg numpang lahir dan numpang gede di MANADO, seorang anak gadis, seorang kakak, seorang cumlauder, seorang sarjana pertanian, seorang magister sains, seorang calon istri

Sabtu, 03 Desember 2011

PAHLAWAN DEVISA, RIWAYATMU KINI…

Di Malaysia nyaris tiada hari tanpa masalah. Selama tahun 2009 tercatat 1.170 TKI lari dari majikan. Sebanyak 60 persen diantaranya bermasalah soal penggajian, sisanya masalah kekerasan dan kriminal. Persoalan TKI di Malaysia paling banyak di antara negara tujuan pekerja lainnya. Penyebabnya, migrant worker di Malaysia kurang bagus, banyak pekerja ilegal masuk. Persoalan TKI semakin buruk dengan tidak adanya standar upah minimum sehingga TKI bisa mendapat upah sangat rendah.

Sebagian besar dari 300 ribu pekerja sektor domestik di Malaysia adalah pekerja yang berasal dari Indonesia. Kebanyakan mereka bekerja hingga 18 jam perhari, tujuh hari seminggu, dengan upah sebesar 400 - 600 ringgit (1,1 - 1,6 juta rupiah) perbulan. Pada umumnya upah pekerja rumah tangga juga dipotong selama enam bulan pertama untuk membayar ongkos perekrutan agen tenaga kerja yang sudah menyalurkan mereka ke tempat kerja. Dengan adanya potongan upah untuk membayar ongkos perekrutan itu, pekerja rumah tangga Indonesia hanya mendapat gaji sebesar 300 - 450 ringgit (840 ribu -1,2 juta rupiah) perbulan untuk masa kontrak kerja selama dua tahun.

Yang sangat memalukan adalah, pekerja rumah tangga Indonesia yang sudah mengabdikan waktu dan tenaganya untuk keluarga Malaysia sehari penuh justru dibayar dengan upah sangat rendah. Perilaku diskriminatif itu semakin jelas ketika pekerja rumah tangga dari negara lain secara otomatis menerima upah yang lebih tinggi.

Dengan tidak adanya peraturan pemerintah, agen tenaga kerja dan majikan pada umumnya mematok upah pekerja rumah tangga berdasarkan standar yang berlaku di negara asal dan bukan berdasarkan latar belakang pendidikan dan pengalaman mereka. Pekerja rumah tangga asal Filipina memperoleh gaji paling tinggi sebesar 400 dolar Amerika karena persyaratan yang ditetapkan oleh pemerintah Filipina. Dibandingkan dengan negara lain yang menerima tenaga kerja Indonesia dalam jumlah banyak, Malaysia merupakan negara yang menetapkan upah terendah. Sebagai contoh, Arab Saudi mewajibkan majikan untuk memberi upah sebesar 800 rial (1,9 juta rupiah) perbulan tanpa potongan apapun.

Malaysia tidak memiliki standar upah minimum secara nasional, namun Kementerian Tenaga Kerja negara tersebut sedang melakukan penelitian untuk memperkenalkan mekanisme upah minimum terhadap pekerja sektor swasta. Serikat Pekerja Malaysia sendiri mendorong diterapkanya penetapan upah minimum sebesar 900 ringgit (2,5 juta rupiah) sementara pemerintah Malaysia menetapkan siapa saja yang berpenghasilan 750 ringgit (2,1 juta rupiah) perbulan masuk dalam kategori mereka yang berada di bawah garis kemiskinan nasional. Jika seseorang sangat membutuhkan pekerjaan, mereka biasanya tidak memiliki posisi tawar yang tinggi untuk menetapkan syarat-syarat yang layak atas pekerjaannya. Persoalan yang dihadapi oleh para pekerja Indonesia ini merupakan contoh nyata bahwa pemerintah harus melakukan campur tangan untuk menanggulangi perilaku pasar yang berdampak pada kondisi kerja yang diskriminatif dan eksploitatif.

Penyalur tenaga kerja di Indonesia mematok harga tinggi atas jasa untuk menyalurkan tenaga kerja ke tempat kerja mereka. Sering kali mahalnya harga tersebut sulit diterima oleh akal sehat. Karena pada umumnya pekerja rumah tangga tidak mampu membayar harga tersebut, biasanya agen penyalur menawarkan "pinjaman" kepada calon pekerja. Pinjaman tersebut kemudian dialihkan kepada agen penyalur di Malaysia atau majikan yang kemudian memotong gaji pekerja selama enam atau tujuh bulan untuk membayar pinjaman tersebut.

Pekerja rumah tangga yang pada umumnya berasal dari keluarga miskin dan terlilit oleh berbagai kebutuhan dasar, tidak memiliki pilihan selain menerima persyaratan-persyaratan ini. Sistem ini turut serta membuat para pekerja rumah tangga terperangkap dalam kondisi kerja yang memprihatinkan akibat pembatasan ruang gerak oleh majikan yang khawatir apabila pekerja melarikan diri sebelum melunasi hutangnya. Dalam kasus lain, pekerja rumah tangga ditekan oleh agen penyalur untuk tetap bekerja pada majikan yang sewenang-wenang sampai hutang mereka lunas, atau terpaksa harus bertahan dalam kondisi tersebut sampai akhirnya mereka mampu mengirim uang ke kampung halaman.

Jika kita cermati dengan saksama, TKI sejatinya adalah pahlawan pembangunan bagi Malaysia ataupun bagi Indonesia. Tanpa keringat mereka, nonsense Malaysia bisa membangun sedemikian pesat, bahkan melampaui pembangunan di Tanah Air.

Salah satu karya nyata TKI adalah kawasan Putra Jaya, yang merupakan pusat pemerintahan baru negara Malaysia. Kawasan yang sedang bergeliat karena aktivitas pemerintahan dan bisnis itu dibangun oleh TKI. Dalam pembangunan kawasan Putra Jaya yang sebelumnya merupakan daerah perbukitan dengan hutan pohon ini, TKI tak hanya menjadi sumber tenaga bangunan. Dalam konteks ini, TKI juga menjadi sumber uang bagi pembangunan di Malaysia.

Uang yang dipakai untuk membangun pusat pemerintahan Malaysia di Putra Jaya, bahkan juga pembangunan di seluruh Malaysia, adalah hasil keringat TKI di perkebunan kelapa sawit. Di sektor andalan Malaysia ini nyaris tidak ada warga Malaysia yang bekerja sebagai buruh kasar.

Namun, apa balasan yang mereka berikan kepada TKI? Upah yang masih sangat rendah, tidak diberikannya pendidikan bagi anak-anak TKI di daerah perkebunan serta kasus penyiksaan dan pembayaran upah yang ditahan oleh majikan.

Lantas, apakah semua masalah ini salah Malaysia? Coba tengok perlakuan kita kepada TKI, apakah lebih baik? Mungkin bagi TKI, perlakuan tidak manusiawi di negeri sendiri dianggap wajar karena mereka biasa menerima perlakuan yang lebih buruk lagi.

Gelar pahlawan devisa kepada TKI dan jasa mereka mengatasi masalah pengangguran dan kemiskinan di Tanah Air tanpa merepotkan para pejabat elite tidak berbanding lurus dengan perlakuan yang diterima. Padahal, berapa investasi yang harus dikeluarkan untuk memberikan pekerjaan kepada 2,2 juta tenaga kerja kita seandainya mereka tidak jadi TKI?

Namun, fakta jauh lebih menyakitkan. Pada saat TKI kita berjuang bertaruh nyawa di negeri orang, anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan pemerintah malah berkongsi membangun gedung mewah senilai Rp 1,6 triliun. Tidak pernah terbersit di otak para elite itu untuk membenahi sistem pengiriman TKI dan memberikan pelatihan keterampilan. Kondisi Tenaga Kerja Indonesia (TKI) di Malaysia ibarat pepatah sudah jatuh tertimpa tangga. Mereka sudah mendapat perlakuan marjinal dan tidak manusiawi sejak masih berada di negeri sendiri. Mustahil meminta orang lain bersikap baik jika pemangku kebijakan kita tak berbenah diri.

Orang bijak berkata, benahilah dirimu sebelum membenahi orang lain. Mungkinkah kita bisa bercermin diri supaya lebih menghargai pahlawan devisa ataukah mata hati kita sudah sedemikian terbutakan sehingga tak mampu melihat borok sendiri? Atau bahkan sudah “mati rasa” sehingga “sakit” yang ada dibiarkan bernanah menganga memamah biak?!

Tidak ada komentar: