Mengenai Saya

Foto saya
keturunan jawa asli yg numpang lahir dan numpang gede di MANADO, seorang anak gadis, seorang kakak, seorang cumlauder, seorang sarjana pertanian, seorang magister sains, seorang calon istri

Sabtu, 03 Desember 2011

KHUTBAH TELAH SELESAI

Pada bulan Ramadhan beberapa tahun yang lalu, seorang kawan saya yang beragama Nasrani, sebutlah bernama Joni, bertanya kepada seorang kawan saya yang beragama Islam, sebutlah bernama Abang. “ Bang, kenapa kamu nggak puasa? Kamu kan orang Islam?” setelah tertegun sejenak, abang pun menjawab pertanyaan Joni itu. “ aku nggak puasa karena aku memang sedang nggak mau. Kalau aku mau maka aku akan berpuasa. Aku nggak mau seperti banyak orang yang melakukan puasa karena terpkasa atau malu sama keluarga, teman, orang-orang. Percuma mereka lakukan itu kalau hanya demi manusia. Dan kalaupun aku nggak puasa, aku nggak akan malu untuk berterus terang apa adanya. Aku bilang aja, nggak perlu bohong bahwa aku nggak berpuasa. Puasa itu kan urusanku dengan Tuhan!”

Demikianlah kurang lebih jawaban abang yang cukup menggelitik hati. Jawaban itu bukan saja sangat menarik tetapi juga mendorong untuk mendalami lebih jauh makna yang terkandung didalamnya. Paling tidak bias disimpulkan 3 hal dari jawaban tersebut. Pertama, abang tidak berpuasa karena ia memang tidak mau. Kedua, abang tidak mau jika melakukan puasa karena terpaksa atau hanya malu oleh manusia. Ketiga, abang pun tidak mau berbohong bahwa ia tidak berpuasa. Jujur adalah sikap yang ia lakukan.

Dalam ajaran Islam, shaum Ramadhan adalah suatu ibadah yang hukumnya wajib dikerjakan oleh setiap muslim yang baligh dan berakal. Shaum Ramadhan tidak boleh ditinggalkan kecuali dengan alasan yang diperbolehkan misalnya sakit. Sehingga dapatlah kita simpulkan bahwa tidak berpuasanya abang, sebagai seorang muslim, merupakan suatu tindakan yang melanggar ajaran Islam.

Namun, apabila kita cermati pandangan abang berikutnya akan kita temukan pelajaran yang sangat berharga. Betapa banyak pula di antara kita yang menjalani shaum masih sebatas kewajiban saja sehingga terasa sebagai sebuah keterpaksaan. Berapa banyak pula di antara kita yang melakukan shaum karena lingkungan yang membuatnya, malu kalau tidak berpuasa. Padahal menurut abang, melakukan ibadah bukan karena Allah akan menjadi kesia-siaan belaka. Ibadah harus dilakukan dengan ikhlas, semata hanya untuk Allah. Abang pun menyadari bahwa berbohong tiada gunanya karena toh dengan berbohong pun Allah tetap mengetahuinya yang ada di dalam hati.

Tidak berpuasanya abang memang salah tetapi pandangannya akan sikap ikhlas dan kejujurannya merupakan suatu pelajaran bagi kita. Barangkali kita sudah tidak pernah meninggalkan shaum Ramadhan dari tahun ke tahun tapi barangkali pula kita belum mampu mencapai titik ikhlas dan jujur dalam menjalaninya bukan sebagai kewajiban semata tapi justru sebagai sebuah kebutuhan. Bukan lantas sebaiknya kita tidak usah berpuasa karena kita masih menganggap puasa itu sebagai sebuah kewajiban atau keterpaksaan atau menghindari rasa malu tapi justru inilah saatnya bagi kita mencari cara agar puasa kita menjadi sebuah kebutuhan sehingga dalam menjalaninya diiringi dengan kesungguhan, tidak asal-asalan.

Kepergian ramadhan seringkali tak berbekas dalam perilaku dan hati umat Islam termasuk dalam diri kita sendiri. Seusai Shalat Idul Fitri di pagi 1 Syawal yang hampur tak seorang pun ketinggalan mengikuti, masjid pun kembali lengang. Tak ada lagi desak-desakan seperti yang terjadi di malam pertama Ramadhan. Ketika itu, seringkali sandal kita tertukar atau bahkan hilang karena saking banyaknya orang yang berbondong-bondong dating ke masjid. Tapi kini, jamaah Shalat Maghrib kembali lagi ke formasi semula, formasi yang sudah bertahun-tahun tetap awet dan bertahan yaitu firmasi 1 – 6 – 4. Satu imam, 6 makmum bapak-bapak dan 4 ibu-ibu, tanpa cadangan.

Inikah dan beginikah hasil dari training di bulan Ramadhan? Setelah satu bulan penuh melaksanakan ibadah yang menjanjikan pahala berlipat ganda dengan khusu dan maksimal, puasa bergunjing, menahan nafsu, tidak bebrohong, shalat berjamaah setiap hari di masjid, lalu kini kita pun tinggalkan semuanya? Mungkin diri kita termasuk salah satu di antara mereka yang seusai Ramadhan mulai lagi bergunjing, mulai lagi mengumbar nafsu atau bahkan mulai lagi meninggalkan perintah Allah. Apabila memang demikian, rasanya tak pantas seusai Ramadhan ini kita menyandang gelar “seperti bayi yang baru lahir” yang tak memiliki dosa dan kesalahan.

Tak jarang pula kita menganggap bahwa diri kita sudah cukup berubah dengan adanya momen Ramadhan. Dalam waktu yang cukup instan, satu bulan, kita merasa sudah cukup menjadi hamba yang mendekatkan diri kepada Allah sang pencipta alam semesta. Dengan ibadah puasa, shalat, dzikir, tadarus, dll, kita anggap diri kita sudah memiliki bekal kebajikan yang cukup banyak.

Tapi begitulah, perubahan yang instan maka hasilnya instan pula. Terbukti bahwa ketika Ramadhan telah usai, selesai pula berbagai amal saleh yang kita lakukan. Kita kembali seperti dulu lagi, seperti sebelum datangnya Ramadhan. Padahal apabila kita benar-benar berubah, semestinya kita tetap menjaga amalan yang kita kerjakan selama bulan Ramadhan. Apabila di bulan Ramadhan kita selalu berjamaah shalat di masjid maka seharusnya pula kita shalat berjamaah di masjid sepanjang bulan Syawal sampai bulan Sya’ban. Apabila di bulan Ramadhan kita berpuasa, sudah selayaknya pulalah kita melakukan berbagai puasa sunat di bulan yang lainnya. Bila kita rajin bersedekah di bulan Ramadhan, seharusnya pula kita banyak bersedekah di luar Ramadhan. Begitu juga dengan amalan yang lainnya.

Berakhirnya Ramadhan bukan berarti berakhir pula amal kebajikan. Perlu disadari bahwa Ramadhan bukan tujuan. Ramadhan hanyalah sebuah training untuk membentuk karakter manusia agar menjadi karakter bertakwa. Adapun hasil dari training ini akan terlihat justru setelah Ramadhan usai.

Kita perlu menghijrahkan amalan kita dari amalan yang tak pernah kita lakukan di luar Ramadhan menjadi amalan yang sering kita lakukan di bulan Ramadhan. Biarpun bulan Ramadhan telah usai, amalan Ramadhan harus terus kita hidupkan. Kita berhijrah menuju amalan Ramadhan di sepanjang Syawal hingga Sya’ban. Agamamu adalah apa yang kau lakukan ketika khutbah telah selesai.


Tidak ada komentar: