Selasa, 28 Agustus 2012
Pukul 9 pagi, kelak kan menjadi momen dimana
setiap detik putaran waktunya akan menjadi hujaman semangat di kala
badai kemalasan menerpa dan keingintahuan surut.
Pagi itu, ada sekitar 9 koper tertata rapi di teras rumah. Seluruh
penghuni rumah telah bangun pagi, seperti biasa. Ibu sibuk dengan urusan
di dapur, ade sibuk dengan “proyek mini”-nya, Ayah sudah siap-siap,
begitupun saya. Belum pernah se-tidak semangat ini dalam melakukan
perjalanan, bayangkan saja, saya harus meninggalkan rumah (sepertinya
untuk beberapa tahun kedepan) dimana sejak usia 9 tahun saya mulai
menghuni rumah itu, selebihnya saya harus meninggalkan orang-orang
terkasih dan tersayang yang menemani saya hampir 23 tahun lamanya. Ya
Allah …
Jemputan yang akan mengantarkan kami (Saya dan Ayah) ke airport
Sam Ratulangi sudah tiba, kami bergegas, pamitan dan sesi sedih pun
dimulai terkecuali ade, dia ialah orang paling lempeng di seluruh dunia.
“Kak, berusahalah untuk tidak jatuh dan selesaikan secepatnya ya,
Bismillah…” Inilah pesan yang Ibu ucapkan tanpa memandang dan tanpa
memeluk saya, saya seakan tahu persis bahwa Beliau bukannya tidak mau
tapi tidak mampu. Begitupun saya…
Saya mencium tangan Beliau dengan lemah, sangat lemah dan gemetaran…
Airmata tak terbendung lagi, dan dia tumpah membanjiri pipi.
Sepanjang perjalanan menuju bandara, tidak ada cerita di dalam mobil,
yang ada hanya tarikan ingus dan usapan airmata. Seketika tersadar belum
meminta maaf dan mengingatkan Ibu untuk tidak lupa mendoakan. Padahal
saya tahu persis dan yakin sepenuhnya bahwa tanpa meminta pun, Ibu pasti
memberi.
Sesampainya di airport, berkat bantuan jasa porter,
barang bawaan yang sebegitu banyaknya tak terasa, saya jadi tidak begitu
menyesal melayangkan selebaran 50 ribuan. Tapi, mulai sejak hari itu
saya yakin bahwa uang ialah bukan segalanya!
3 jam perjalanan udara Manado-Jakarta tak bisa dilewati dengan nyenyak,
saya tak bisa tidur dengan kondisi mata sembab dan hidung yang mampet.
Di udara, betapa saya mengingat kembali kisah kasih 22 tahun di masa
yang lampau, segala bentuk kenakalan, ketidakberdayaan, kemalasan, dan
segala keburukan lainnya yang tanpa sepengetahuan saya mungkin
sesungguhnya telah menyakiti hati Ibu, saya mohon maaf…
Maaf, Bu… Maaf…
Sesampainya di bandara Soetta, jasa potter
tak terelakkan lagi, mari ucapkan selamat tinggal pada 50 ribuan. Kami
pun bergegas mencari kendaraan ke Bogor, kali ini tidak naik damri tapi
menyewa avanza 200 ribuan menuju Dramaga, Bogor. Sepanjang perjalanan, tangisan pun terulang, sesekali kering dan kemudian kembali basah…
Kiri kanan kulihat saja, banyak gedung pencakar langit~
Sesampainya di Bogor, mobil langsung diarahkan menuju asrama internasional IPB. Dengan tarif special event
kami dapat kamar Nomor 20 dan 22 yang per kamar per malam per orangnya
seharga 140 ribu, dilengkapi kamar mandi dalam, kasur yang empuk, lemari
besar, dan meja belajar serta kursi yang empuk, semua terasa
benar-benar berstandar internasional. Sungguh pelayanan yang mumpuni
untuk para mahasiswa asing yang menghuni asrama tersebut walaupun
ukurannya mungkin agak kecil.
Malamnya dan besoknya lagi, kami ditemani reza (temannya teman), untuk
jalan-jalan keliling kampus. Menuju babakan raya (bara), daerah dimana
makanan berlimpah dan melewati berlin, tembok yang filosofinya merupakan bukti kebebasan mahasiswa
Tidak ada komentar:
Posting Komentar