Mengenai Saya

Foto saya
keturunan jawa asli yg numpang lahir dan numpang gede di MANADO, seorang anak gadis, seorang kakak, seorang cumlauder, seorang sarjana pertanian, seorang magister sains, seorang calon istri

Jumat, 24 Agustus 2012

Pameo Cap Tikus: “1 seloki menambah darah, 2 seloki masuk penjara, 3 seloki ke neraka”

“... Minumlah dengan seksama atau dirimu akan terminum. Sebab hidup selalu menyimpan haus yang lebih dari sekedar rasa ingin menuntaskan dahaga...” – Sumirat Lohjati (The Art of Drinking)

Sebenarnya jargon “Brenti Jo Bagate” ini ditujukan kepada siapa? Para pemabuk yang memang lihai menegak minuman keras sehingga bakuku merupakan cara mengekspresikan diri yang paling tepat? Atau, para pemabuk yang berkat kelihaiannya pula dapat kita jumpai di pinggiran jalan tengah terperosok di lubang got setelah semalaman mabuk-mabukan? Atau, malah anak sekolahan yang tugasnya telah beralih fungsi dari seorang generasi penerus Bangsa menjadi anak yang mempermalukan orangtua dengan marak diketemukannya para pelajar tengah asyik berpesta minuman keras (miras)? Selaku bagian dari para peminum yang aneh, mari kita jawab dan benahi bersama.
Dalam The Art of Drinking dijelaskan bahwa dunia manusia ialah dunia minuman, sebuah dunia yang selalu basah. Maka jangan heran bila kita bertamu, untuk kali pertama kita pasti akan disuguhi minuman atau sekedar ditanya “Mau minum apa?”. Betapa situasi hidup manusia selalu lekat dengan minuman, bukan? Sejarah minuman dan keberminuman sungguh menarik untuk ditilik lebih jauh, hingga kita bisa memetik kearifannya. Manusia ialah peminum sejati dimana selalu menjadi spesies yang menanggung kehausan. Sifat ini tanpa terkecuali menjadikan sejarah hidup manusia selalu memadai manakala diungkap sebagai kisah petualangan keberminuman yang tak pernah selesai. Sebuah kisah yang membuat dunia manusia selalu identik sebagai dunia minuman, ruang dimana petualangan rasa dan seni cara mereguk yang begitu unik, mistis, religius dan meriah. Menjadi semacam aneka sensasi basah yang berlimpah. Betapa terdapat basah yang menyedihkan, yang dalam, yang khusyuk, penuh syukur serta terdapat pula basah yang gelap.
Manusia ialah peminum laten, yang bahkan bisa minum dengan situasi dimana ia tidak merasakan haus sama sekali. Manusia membutuhkan minum bukan sekedar untuk menopang keeksisan tubuhnya melainkan juga untuk memperoleh kesenangan dan kegembiraan. Namun begitu terdapat pula individu-individu yang minum bukan karena untuk memperoleh kesenangan melainkan karena kepedihan yang mencengkeram batinnya, seakan Tuhan ada dalam gelas-gelas minuman mereka!
Maka, no way out, minum akhirnya menjadi pilihan yang paling masuk akal untuk tidak bunuh diri dan tidak membunuh orang. Minum kemudian menjelma menjadi hasrat yang aneh dimana hidup mati-matian terus dipertahankan sekaligus dihancurkan dengan diam-diam. Minum lalu menjadi fenomena menakjubkan yang memunculkan beragam keunikan : terkadang harmoni, paradoks, ironi namun terkadang tragedi. Hanya saja banyak orang yang mengabaikan hal ini. Sokrates adalah sejarah bagaimana sebuah keberminuman menjadi sesuatu yang agung dan abadi, ketika dia memutuskan untuk meminum racun. Minum bukan pekerjaan sederhana melainkan pekerjaan yang sangat berat karena keberminuman diri tidak sekedar membutuhkan nalar akan tetapi laku hidup yang total dan sepenuhnya, lain halnya dengan keberminuman tubuh. Pekerjaan sebiasa “minum” bisa menjadi pekerjaan yang sama sekali tidak sederhana, sebaliknya menjadi penentu, bagaimana hidup dan mati dimaknai.
Mari kita perbincangkan “Minuman, Tragedi dan Kepedihan” dimana kemanusiaan, dalam setiap perputaran roda sejarah, hampir-hampir seperti orang yang berjalan di malam yang gelap dan hanya diterangi oleh kilatan cahaya semata. Ada banyak perubahan sikap, namun mereka seolah buta untuk keluar dari masalah ini. Kenyataan ini larut dalam sejarah minum manusia yang terkadang justru melahirkan berbagai situasi yang menyayat. Meski minuman itu sendiri adalah sebuah berkah dan keberminuman adalah perayaan berkah hidup yang ada. Akan tetapi dalam banyak situasi berkah itu justru melahirkan malapetaka yang begitu mengenaskan. Ironis memang tapi begitulah hidup manusia. Terkadang indah dan begitu basah, namun terkadang begitu penuh kepedihan dan kehancuran.
Meski manusia membutuhkan minum untuk menjaga hidupnya, akan tetapi manusia tetap memiliki kebebasan membuat pilihan, dengan tidak meminum apapun, meski hal itu akan mengorbankan hidupnya. Minum menegaskan betapa keberminuman menjadi sesuatu hal yang terhubung persoalan etika, yang menghadapkan manusia pada persoalan nilai dalam hidup. Minum disini tidak lagi disadari sebagai persoalan jasad atau kebutuhan tubuh, sebaliknya sebuah sikap etis yang senantiasa membawa seseorang pada perilaku etika tertentu. Kebanyakan dari kita kerap meminum minuman yang salah serta meminum dengan cara yang tidak tepat, sehingga keberminuman tersebut selalu menunjuk pada situasi paradoks dimana justru terminum oleh hasrat keberminumannya sendiri. Walhasil kita pun minum sesuka hati tanpa mempedulikan apa dan bagaimana hakikat minum dan keberminuman.
Suatu ketika, saat hidup dibendakan, kita akan menemukan adanya ungkapan, bahwasanya hidup tidak lain hanya soal memilih minuman. Maka kemampuan mengenali minuman menjadi bagian terpenting guna memperoleh minuman yang tepat. Namun saat hidup menjadi sebuah “sikap dan laku”, ungkapan yang muncul, bukan bagaimana memilih minuman, sebaliknya bagaimana caramu meminum. Tujuannya ialah untuk memperoleh keberminuman yang sungguh-sungguh, minum yang tidak terminum.
Tidak penting apa yang kau minum dan minuman apa yang ada di genggaman tanganmu, yang terpenting ialah bagaimana caramu dalam meminumnya. “Jika engkau tahu cara meminumnya maka hidupmu pasti akan menyenangkan”. Sekali lagi, minum bukanlah sesuatu hal yang biasa melainkan sesuatu yang secara budaya memiliki makna juga posisi yang begitu penting terkait dengan nilai dalam hidup itu sendiri. Cara minum berkaitan dengan cara hidup. Berikut ragam minuman menjadi hal yang tidak bisa dipungkiri kehadirannya, salah satunya Cap Tikus.
Cap Tikus, siapa yang tidak kenal minuman yang satu ini? Wikipedia (2012) melansir Cap Tikus merupakan minuman tradisional Minahasa yang mengandung alkohol rata-rata 40 persen yang dihasilkan melalui penyulingan saguer (cairan putih yang keluar dari mayang pohon enau atau seho dalam bahasa daerah Minahasa). Saguer dimasak kemudian uapnya disalurkan dan dialirkan melalui pipa bambu ke tempat penampungan. Tetesan-tetesan itulah yang kemudian dikenal dengan minuman Cap Tikus.
(sumber : wikipedia)
Alkohol tak ubahnya menjadi air susu yang baru dalam masyarakat yang makin mengalami pendangkalan. Di sebagian wilayah bumi, alkohol masuk dalam hal yang sangat dibutuhkan disaat santai, perayaan, upacara agama dan berbagai jenis pesta. Nilai keberadaan alkohol sebagai agen perusak individu semestinya membuat kita berpikir dan mengoreksi diri lagi. Kenyataan ini tentu saja menjadi kepedihan tersendiri. Sebab hal itu menunjukkan betapa seiring dengan kemajuan yang ada, kecintaan pada minuman alkohol menunjukkan betapa manusia makin memiliki hidup yang ahistoris. Padahal sejarah telah begitu panjang mengabarkan bagaimana alkohol selalu lebih banyak melahirkan tragedi dan kepedihan ketimbang keindahan. Alkohol yang mengharu biru di suatu peradaban ibarat minyak pelumas, etil alkohol jenis alkohol yang dapat diminum mampu melancarkan interaksi sosial. Ia menjadi minuman shopisticated di setiap jamuan makan. Di dunia medis alkohol sampai sejauh ini ternyata sangat dibutuhkan. Lebih dahsyat lagi, alkohol (khususnya minuman berlakohol) bahkan mampu berperan sebagai agen perusak individu dan masyarakat yang (paling) efektif dan efisien.
Pemerintah bukan tidak pernah melakukan daya upaya meminimalisir dampak akibat dari segala macam sebab yang terjadi, toh pelarangan yang ada hubungannya dengan konsumsi alkohol masih menjadi satu-satunya pendekatan yang efektif sampai saat ini - (Semisal ide kreatif Lomba Blog yang digelar oleh Komunitas Blogger Sulawesi Utara bekerja sama dengan Telkomsel Manado serta POLDA Sulut ini) - ketika pengobatan farmasi untuk para pecandu alkohol terbukti tidak efektif dan tidak (cukup) bermanfaat.
Trotter (1813) menyatakan bahwa ketidaktepatan mengkonsumsi alkohol adalah sebuah penyakit. Selain itu, menurutnya kebiasaan dan rutinitas mengkonsumsi cairan keras itu dapat menyebabkan penyakit lever, ketidakramahan, disfungsi dan kerusakan mental, sekalipun pada kenyataannya para pecandu alkohol jarang terlihat sakit. Dari itu alkoholisme kerap diungkap sebagai penyakit mematikan jika tidak diobati. Alkohol adalah obat yang paling sering digunakan dan disalahgunakan secara luas sebagai obat psikoaktif di dunia.
Di Jepang, seperti yang dilansir oleh Wikipedia (2012), ragam minuman yang dapat dijumpai misalnya shochu yang merupakan minuman keras populer sejak dulu di kalangan rakyat, karena harganya lebih murah daripada sake. Shochu dikenakan pajak minuman keras yang lebih rendah sehingga bisa dijual dengan harga lebih murah. 
Sumber : Wikipedia
Salah satu cara untuk menghentikan kebiasaan menenggak miras atau paling tidak menguranginya adalah dengan cara mengeluarkan peraturan daerah tentang minuman keras. Dalam peraturan itu ditetapkan miras sebagai barang mewah. Dengan pajak yang sangat tinggi sehingga harganya menjadi mahal. Dengan demikian, tidak semua orang mampu membelinya. Sejatinya, peran pemerintah dalam mengatur pajak minuman keras tentunya sangat berpengaruh terhadap produksi dan penyebaran minuman keras di kalangan masyarakat.
Masyarakat (dalam hal ini para petani aren/penghasil nira/pengolah cap tikus) pun tak perlu risau nantinya, diversifikasi produk perlu diterapkan disini misalnya captikus dapat menjadi bioetanol yang menghasilkan bahan bakar minyak ramah lingkungan. Di Sulawesi terutama Sulawesi Utara, tuak (baca: cap tikus) diproses lebih lanjut dengan penyulingan sehingga diperoleh minuman yang mengandung kadar alkohol tinggi sehingga sangat gampang memabukkan. Jika di masa lalu, khususnya di kalangan para petani, Cap Tikus menjadi pendorong semangat kerja, lain hal lagi dengan kaum muda sekarang. Kini Cap Tikus telah berubah menjadi tempat pelarian. Cap Tikus telah berubah menjadi minuman tempat pelampiasan nafsu serta menjadi sarana mabuk-mabukan yang kemudian menjadi sumber malapetaka (Wahr, 2007).
Menurut NIDA Report (2012), penelitian ilmiah tentang kecanduan alkohol dan berikut ini ialah persentase kematian terkait alkohol :
1.       5 % dari semua kematian dari penyakit sistem sirkulasi
2.       15 % dari penyakit pada sistem pernapasan
3.       30 % dari kematian dari kecelakaan yang disebabkan oleh api
4.       30 % dari semua kecelakaan tenggelam
5.       30 % dari semua kasus bunuh diri
6.       40 % karena kecelakaan jatuh
7.       45 % dalam kecelakaan mobil
The National Institute on Alcohol Abuse and Alcoholism menyatakan bahwa orang yang memulai minum-minum sebelum usia 15 tahun, cenderung mejadi alcoholic dibandingkan individu-individu yang mulai minum pada usia 21. Secara umum, remaja tidak dapat mengontrol diri saat mengkonsumsi alkohol dan karena itu menunjukkan insiden perilaku kekerasan dan kriminalitas.
Alkohol memainkan peran penting dalam kekerasan. Penelitian mengotentikasi keberadaan empiris yang sangat kuat dan konseptual hubungan antara aktivitas kriminal dan penyalahgunaan alkohol. Studi tentang tahanan dan populasi peradilan pidana secara konsisten menemukan pengaruh tingkat tinggi akibat alkohol dan penggunaan narkoba. Kecelakaan jalan merupakan bagian dari implikasi lain penggunaan alkohol. Asupan alkohol dapat mengubah jiwa si pengemudi yang pada gilirannya mengakibatkan kecelakaan kendaraan bermotor. Konsumsi alkohol yang terlalu tinggi menurunkan kinerja dalam mengemudi, yang dapat mengurangi peluang kelangsungan hidup dalam berkendara. Bahkan asupan alkohol terlalu banyak dapat melemahkan refleks syaraf dan cenderung kehilangan kontrol diri (batas toleransi yang diperbolehkan untuk kesehatan yaitu 0,1 persen). Bayangkan apa yang akan terjadi jika Anda dalam pengaruh akohol saat menghadapi masalah, saya yakin masalah tersebut akan diakhiri dibalik terali besi atau penjara bahkan di lahan berukuran 2x3 meter. Masihkah Anda nekat ingin mencoba meminumnya lagi??? Brenti Jo Bagate!!!

“...Hidup memang harus minum, akan tetapi minum dalam hidup tidak boleh dilakukan secara asal dan membabi buta. Sebab hidup sesungguhnya tak ubahnya seperti orang mampir minum. Minum disadari sebagai hidup yang selalu fana dan hancur. Oleh karena itu tidak seharusnya keberminuman dalam hidup dilakukan secara membabi buta...” – Ungkapan Jawa

Sumber : Dokumentasi Pribadi

Referensi :
Lohjati, Sumirat. 2011. The Art of Drinking. Yogyakarta : Immortal Publisher
NIDA. 2012. Alcohol. www.drugabuse.gov diakses tanggal 20 Agustus 2012
Trotter. 1813. An Essay, Medical, Philosophical and Chemical, on Drunkennes. Anthony Finley, Phil.
Wahr, Roderick. 2007. Makanan dan Minuman Khas Minahasa. www.theminahasa.net diakses tanggal 20 Agustus 2012
Wikipedia. 2012. Cap Tikus. www.wikipedia.com diakses tanggal 20 Agustus 2012
Wikipedia. 2012. Shochu. www.wikipedia.com diakses tanggal 20 Agustus 2012

3 komentar:

kawanua mengatakan...

artikelnya bagus sis, tapi sebaiknya ada spasi yang cukup soalnya agak saki ini mata setelah da baca karena tulisan terlalu mepet antar baris

Yesi Hendriani Supartoyo mengatakan...

makasi masukannya masbro
kritik membangun. TOP!
selebihnya sorry hehe :b

Inspironi mengatakan...

Kunjungan pertama, keep blogging :)